Monday, May 14, 2012

MAKNA KEMATIAN MENURUT SUKU DAYAK BENAWAS

Suku Dayak benawas mendiami pesisir sungai Kapuas diwilayah Kabupaten Sekadau, dan terdiri dari beberapa kampung diantaranya dalah : 1. Serirang 2. Serampuk 3. Sungai Kunyit 4. Ensalang 5. Sejirak Padang Milas 6. Lingkup 7. Tapang kelulut 8. Teribang 9. Setawar Mereka mempercayai bahwa kematian bukanlah Akir dari segala galanya, berikut adalah pendapat mereka mengenai kematian Ada beberapa kematian menurut suku ini yaitu Kematian yang Baik, Pulang, Bajang dan kematian yang tidak baik. Mati Bunuh diri apapun bentuknya digolongkan menjadi kematian tidak baik, namun bagi para manula yang dianggap sudah cukup umur mereka tidak dikatakan Mati melainkan “PULANG KE SEBAYAN”. Sedangkan anggota mereka yang meninggal sesaat setelah dilahirkan disebut dengan mati bajang, sedangkan yang mati karena sakit dikatakan mereka mati Baik,.. namun apabila mati berdarah maka itu digolongkan kepada kematian “ BAIK DAN TIDAK BAIK”, artinya para tetua perlu menelusuri dulu sebab musabab kematian, sebagai contoh seseorang yang mati karena di tembak atau terkena tombak perangkap hewan di hutan, mereka mengeluarkan Darah, “Tidak Baik”, namun mereka mati bukan karena sengaja maka akan di “ SILIH” ( bayar Adat ) maka kematian nya dianggap baik. Dalam Suku ini setiapa ada yang meninggal maka akan diadakan upacara meriah,... tetntunya hal ini menimbulkan tanda tanya bagi masyarakat NON BENAWAS,.. meskipun pada umumnya Suku Dayak memiliki beberapa persamaan untuk hal yang satu ini. Menurut kepercayaan suku ini,.. pesta yang dimaksudkan disini adalah untuk membantu Roh atau jiwa orang yang meninggal agar cepat mencapai Sebayan ( = Surga) , mengapa harus ditolong, karenasemasa hidupnya pasti orang tersebut memiliki kesalahan kesalahan yang dilakukannya,jika semasa hidupnya “yang meninggal” memiliki kesalahan yang Tampak oleh mata maka harus di Silih ( Istilah untuk kata BAYAR ). Perlu digaris bawahi bahwa pesti menghantarkan roh mereka yang meninggal bukanlah suatu keharusan untuk dilaksanakan karena segala galanya kembali kepada keluarga yang ditinggalkan, apakah mampu atau tidak, jika tidak maka tidak akan ada sanksi berupa adat atau denda. Namun apakah semuanya itu cukup.. ? mereka juga tidak mengetahui namun itu merupakan bentuk nyata upaya tolong menolong yang tidak kenal batas waktu dan usia... Mati adalah Biasa dalam kepercayaan suku ini bukan sebuah hukuman, Siapapun bisa mati namun bagai mana cara kematian itulah yang tetap menjadi misteri bagi suku ini. Suku Benawas tidak mengenal Kremasi untuk orang yang meninggal. Mereka yang meninggal akan dikuburkan kedalam Liang Lahat dengan menggunakan Peti Mati *lancang. Bentuk kuburan tergantung kepada Kemampuan keluarga dan siapa yang meninggal, Lokasi perkuburan merupakan lokasi yang Khusus, biasanya memiliki jarang yang Jauh dari Pemukiman mereka menyebutnya “PERANTU”, pantang bagi suku ini untuk mengganggu gugat areal pemakaman mulai dari memotong kayu apalagi sampai menggusur Pemakaman. Pada jaman dulu sebelum Agama Mendominasi kehidupan mereka,.. upacara kematian dipimpin oleh seorang MANANG, Manang berbeda dengan Belian, menurut mereka manang adalah imam dari Golongan Tua yang terpilih dan dianggap mengetahui seluk beluk kehidupan dunia Nyata dan Dunia Maya. Mereka dianggap Tulus melakukan Tugas tanpa ada Pambrih, sedang kan Belian adalah Kebalikannya ( BELIAN disini Berbeda dengan istilah BALIATN dari Sub Suku dayak Kanayatn). Jika ada orang yang meninggal maka Manang lah yang terlebih dulu dipanggil untuk melihat apakah Betul Orang tersebut sudah mati, dan upacara apa saja yang harus dilakukan oleh keluarga setelah kematian tersebut sesuai kemampuan mereka. Orang yang meninggal di tutup dengan kain warna Putih, mengapa harus berwarna Putih karena menurut suku ini Putih melambangkan Ketulusan dan kesucian untuk mengawali kehidupan dialam yang lain. Pada jaman dulu Peti atau lancang berserta tutupnya dibuat dari sebatang pohon yang di tebuk/ dilobangi ( Bukan PAPAN ). Menebang pohon tersebut juga harus di Pomang (= DOA ) atau dikibau dengan seekor ayam kampung. Setelah Lancangnya selesai dan sebelum dimasukkan kedalam peti si Mati terlebih dahulu di “ BANGUNKAN” dengan tangkai Beliung ( Alat menebang Pohon yang terbuat dari kayu Kentur dan bergagang kayu Gabus ) oleh si manang agar Roh Si mati mengetahui bahwa Peti telah siap. Dalam bahasa Manang menyebut peti sebagai PERAHU BIKUK, mantra yang diucapkan oleh manang adalah “ Tuk Perau Biku’ ikau dolu’ dari kami’ makai perau tuk ikau nyemorang sungai sakao duaok namah sungai lupaok, antik ikau dah ngelalu sungai lupaok ikau kelupaok ke kami’..” ( ini perahu bikuk, kamu mendahului kami menggunakan perahu ini menyeberangi sungai bercabang dua dan sungai lupa, bila kamu sudah menyeberangi sungai lupa maka kamu akan melupakan kami ). Setelah mayat dimasukkan kedalam Peti Mati, maka sekali lagi mayat di bangunkan oleh sang Manang menggunakan Hulu Beliung dengan memukul peti sebanyak tujuh kali sambil berucap “ Ingat agik, Turun lah “ ( bangunlah kamu, turunlah...) Kemudian dengan Rotan yang telah disiapkan, rotan lalu dibelah dua ( Disisakan sedikit agar tetap menyatu ) dan di selipkan daun kelapa sebanyak dua helai, setelah Jenazah dibawa turun dari rumah maka segera rotan yang masih menyatu sedikit tadi dibelah seluruhnya, maksud dari membelah rotan tadi adalah sebagai simbol bahwa si mati dan yang hidup tidak akan berkumpul lagi. Setelah Peti jenazah di antarkan ke makam. Terlebih dahulu diletakan di atas liang lahat kemudian baru dimasukkan kedalam, pada peti bagian kaki diletakan simbol Bulan menggunakan daging buah kelapa tua, dan pada bagian kepala diletakkan symbol Matahari yang juga dibuat menggunakan daging kelapa Tua, ini melambangkan harapan agar bulan menyinari si mati pada malam hari dan matahari menerangi pada siang hari selama perjalanan simati menuju Alam Keabadian. Sebelum kubur di tutup, semua pakaian yang pernah dipakai oleh si Mati dimasukkan kedalam liang kubur untuk dikuburkan bersama peti, namun kadang kadang ada juga yang di bakar, namun itu jarang, karena banyak dari anggota keluarga atau masyarakat lain yang tidak tega untuk membakar barang barang tersebut. Pada jaman dulu setelah liang kubur di tutup maka di bagian atas kepala dan kaki dipasang Mensan ( Pusara ), pada jaman sebelum agama mendominasi mensan di buat menggunakan kayu ulin sebagai peringatan bagi anak cucu yang meninggal, namun sekarang Masyarakat benawas telah menggunakan Salib apabila dia meninggal sebagai orang Katolik. Selain sebagai Tanda bagi Anak Cucu si mati, mensan juga dipercaya sebagai Alat untuk mendayung Perahu melalui sungai bercabang dua dan untuk menyeberangi sungai lupa, bila tidak dipasang mensan, maka dianggap si mati kekurangan alat untuk sampai ke SUBAYAN ( Surga ), bagi keluarga yang tidak mampu cukup ditancapkan Kayu saja, yang penting ada... selain sebagai alat Mensan juga dipercaya sebagai tanda bagi si Mati kelak di Sebayan sebagai Symbol bahwa dia orang berada. Setelah semuanya selesai, maka sekali lagi Manang membangunkan si Mati, kali ini tidak menggunakan Ulu Beliung namun menggunakan LUTAN API ( Kayu sisa pembakaran yang pada ujung nya masih membara ), dipukul sebanyak tujuh kali ke atas kuburan tepat di bagian Dada Si mati, dengan mengucapkan mantra “ Ingat gi’,..ikau tingal didituk, inang kau ngacau ngaru kami agi’ inang ngacau keluarga ikau, kami nak pulang, antik dah datang ke seborang ikau encari kawan yang samao dah pulang kinun “( bangun lah,... kamu tinggal disini, jangan menggangu kami lagi, jangan mennganggu keluarga mu, kami semua mau pulang, jika kamu sudah sampai ke seberang, kamu cari saja teman teman baru sesama kalian yang sudah ada disana). Kemudian manang memanggin Semangat ( Soh) semua yang hadir dipemakaman dengan kalimat KURRRR SEMONGAT KAMI..... sebelum pulang biasanya pada makam akan di pasang Tanggui ( Caping ) dan dihidupkan Pelita, setelah rombongan pengantar jenasah sekali lagi manang memanggil semangat dan meminta agar semangat kembali ke rumah nya masing masing ( Rumah yang dimaksudkan adalah Badan masing masing Pengantar jenazah). Dengan menghamburkan beras putih kuning. Ketika malam hari, selama 7 malam berturut turut warga kampung mendatanggi rumah duka sebagai wujud bela sungkawa dan rasa solidaritas sesama mereka dengan harapan duka dan rasa kehilangan yang dirasakan oleh keluarga yang ditinggalkan sedikit berkurang. Pada hari ke tujuh dan hari ke empat puluh masyarakat berkumpul lagi di rumah duka dan mereka juga mengunjungi makam upacara itu sangat sederhana dan disebut MERAJAH ( Semacam Syukuran ), kemudian setiap du kali dalam setahun keluarga memberikan makan di kuburan ( Bukan memberika makanan kepada orang mati ) melainkan makan bersama dikuburan, ini sebenarnya adalah sedekah kepada masyarakat kampung. Pada hari ketujuh tanggui di atas makam akan di buang... Pada malam ke 40 diadakan lagi upacara keluarga ( Selamatan ) dirumah duka, dan pada upacara yang disebut dengan istilah ( PERAJAK NYAPAK) atau dapat dijelaskan sebagai masa lepas berkabung, ini diharapkan seluruh warga kampung yang telah membantu baik secara moril maupun sprituil agar dapat hadir untuk makan bersama, dan biasanya pada siang hari nya keluarga duka akan kembali mengunjungi makam sebagai ujud kehilangan dan setelah hari itu mereka akan jarang mendatangi makam. Dalam kebiasaan suku benawas selama berkabung tidak boleh diadakan pesta perkawinan atau pesta pesta yang lain dan harus menunggu masa berkabung selesai, yaitu selama 40 hari, namun untuk pesta perkawinan diperlukan sekurang kurangnya 3 bulan setelah kematian barulah boleh diadakan pesta, namun apabila kematian itu terjadi pas bersamaan dengan pesta pernikahan, pesta tersebut dapat terus dilaksanakan sampai selesai dengan sarat pihak pesta harung “NYURUNG ADAT PENOMPAL PENING” ( membayar adat penutup telinga ), bila yang meninggal itu suami atau istri maka pasangan yang ditinggalkan tidak boleh mencari jodoh baru dalam waktu satu tahun setelah kematian. Dalam masyarakat suku benawas, apabila yang meninggal tersebut dulunya sebelum meninggal dia pernah ikut gotong royong membuat ladang baik itu menebas sampai memanen maka pada saat panen keluarga yang pernah dibantu oleh orang yang telah mati tersebut biasanya memberikan Nasi Baru ( Nasi yang dimasak dari beras yang baru di panen) dengan mengantarnya ke makam, ini bukan sebagai berhala hanya sebagai ucapan terimakasih atas bantuan orang yang telah meninggal tersebut karena ketika masih hidup masih sempat membantu membuat ladang mereka namun dia tidak bisa menikmati hasil jerih payah nya. Demikian juga halnya bagi mereka yang meninggal namun tidak pernah membatu berkerja diladang, maka akan tetap didatangi makam nya hanya tidak dibawakan beras baru, paing hanya sekedar air yang disiramkan ke atas makam. Selain kematian orang dewasa diatas, ada juga tradisi penguburan anak kecil, untuk tradisi ini dikenal dua macam, yang pertama anak yang meninggal sesaat setelah lahir disebut BAJANG, dimasukan kedalam peti kecil dan jasat nya juga dibungkus menggunakan kain putih lalu dibawakan ke pemakaman, namun pemakaman tersebut terpisah dari pemakaman orang dewasa dan disebut dengan istilah PERANTU BAJANG Anak yang meninggal sebelum dilahirkan disebut SUANG, jasadnya dimasukkan kedalam biasanya terbuat dari buah LABU tua yang telah keras kulitnya dan di simpan di dahan pohon beringin, SUANG tidak di kuburkan kedalam tanah karena dianggap oleh suku ini tidak memiliki Dosa, upacara kematian anak kecil baik SUANG Maupun BAJANG tidak diadakan Upacara Adat dan tidak melibatkan Seluruh warga kampung paling hanya 7 orang sudah cukup, karena dianggap masih kecil dan suku ini percaya bahwa mereka akan Masuk “BULAT-BULAT” ke SEBAYAN. Demikianlah sepintas mengenai upacara Kematian bagi suku Dayak Benawas, meski pada jama sekarang telah dipengaruhi oleh Masuk nya agama Katolik sebagai agama yang mendominasi suku ini, dan bagi mereka orang suku Benawas yang beragama lain akan diserahkan kepada keluarga tempat dia meninggal, masyarakat Benawas yang menjadi Islam tidak dianggap sebagai suku melayu melainkan disebut “ SENGANAN”, ( Dayak Senganan )* orang dayak beragama Islam. walaupun ada perubahan namun masih banyak kebiasaan “TUA” yang tetap masih dilaksanakan samapai saat sekarang,